Rabu, 09 Januari 2013

Potret Kotaku

Kali ini Teropong ATLAS ingin berbagi potret tentang kota berjuta cerita, Semarang. Beberapa landmark terkenal, seperti Lawang Sewu, Tugu Muda, ataupun Kota Lama sebagai ikon kota menjadi daya tarik wisatawan untuk berkunjung. Nah, berikut ini sejumlah foto "Potret Kotaku".



TUGUMUDA: Tugu yang terletak di kawasan Jalan Pemuda ini merupakan simbolisasi untuk mengenang peristiwa heroik Pertempuran Lima Hari di Semarang, ketika para pemuda setempat melawan tentara Jepang.



LAWANG SEWU:  Gedung berarsitektur ala Eropa ini dahulu merupakan kantor pusat kereta api pemerintah Belanda, Nederlandsche Indische Spoorweg MaschaappijDibangun pada tahun 1904 dan selesai pada tahun 1907. Usai Indonesia merdeka, gedung ini difungsikan sebagai kantor Djawatan Kereta Api Republik Indonesia (DKARI) yang kini dikenal dengan sebutan PT. KAI. Letak gedung ini berdekatan dengan Tugu Muda.



SAKSI SEJARAH: Lawang Sewu juga menjadi saksi bisu Pertempuran Lima Hari di Semarang, tepatnya pada 14-18 Oktober 1945 lalu.



GEREJA BLENDUK: Gereja beratap kubah setengah lingkaran ini dibangun pada tahun 1753 silam dan menjadi salah satu landmark Kota Semarang yang diminati oleh wisatawan karena arsitekturnya yang bergaya Neo-Klasik. Biasanya, pada akhir minggu kerap dijumpai para pecinta fotografi yang berburu foto di sekitar gereja tersebut. 

Masih di kawasan Kota Lama, tidak hanya Gereja Blenduk yang dapat menjadi jujukan wisata menarik. Jika  berkeliling di kawasan tersebut, kita dapat menjumpai bangunan-bangunan tua dengan arsitektur menawan seperti foto-foto berikut:






Bicara tentang tujuan wisata menarik, salah satu klenteng di Kota Semarang ini begitu legendaris dengan adanya kisah persinggahan Sang Laksamana Ceng Ho--laksamana asal Tiongkok yang beragama Islam. Ya, Klenteng Sam Po Kong yang berlokasi di Simongan, Semarang.





Lokasi lain untuk refreshing adalah Pantai Marina yang terletak di Kecamatan Semarang Utara, bersebelahan dengan arena PRPP dan Mareokoco. Tepatnya, setelah perumahan Puri Anjasmoro. Salah satunya seperti menikmati suasana senja yang tenang di tepian pantai sambil melihat kapal-kapal yang menepi.



Masih menikmati senja di Kota Semarang, namun di tempat yang berbeda, yaitu di kawasan Tembalang.


SENJA DI LANGIT TEMBALANG: Ini dia salah satu potret langit Tembalang kala senja. Panorama Gunung Ungaran yang berdiri gagah memperindah suasana senja. Foto ini saya abadikan dari lantai 6 Gedung ICT Undip.


DOLANAN: Mainan kapal ini terbuat dari seng (sejenis alumunium tipis) dan umumnya dijual ketika momen Dugderan (pasar rakyat khas di Kota Semarang dalam rangka menyambut Ramadhan). Ketika dimainkan di atas air, kapal ini akan bergerak dan mengeluarkan bunyi "othok-othok". 

Nah, itu tadi sebagian potret Kota Semarang yang sempat saya abadikan. Kota Semarang berjuta cerita. Terima kasih. (ARF)

Rabu, 26 Desember 2012

Marabunta : ‘ Si Semut Besar Afrika’ Bergaya Arsitektur Belanda nan Elok



Kawasan Kota Lama kerap menjadi tujuan wisata bagi turis domestik maupun mancanegara yang berkunjung ke Semarang. Gereja Blendhuk umumnya menjadi jujukan terlaris bagi para pelancong. Tapi tak hanya itu, masih ada referensi obyek wisata menarik di kawasan little netherland tersebut. Ya, Marabunta Gedung Multiguna (MBM) yang berlokasi di Jalan Cendrawasih 23, Semarang. Tak sulit menemukan bangunan tua bergaya arsitektur Belanda ini. Selain lokasinya yang cukup dekat dengan Gereja Blendhuk, patung semut raksasa yang menghiasi bagian atap gedung mudah dihafal dan menarik perhatian.
Merunut pada sejarah singkatnya, bangunan yang juga bernama “Gedung Komedi Stadschouwburg” tersebut dahulu berfungsi sebagai tempat pertunjukkan rutin yang dinikmati oleh warga Eropa pada tahun 1854. Salah satunya pementasan tari dari seorang spionase cantik, Putri Matahari. Namun, sejak awal kemerdekaan RI, gedung itu tak lagi berfungsi untuk menampilkan pertunjukkan, melainkan digunakan sebagai kantor Yayasan Empat Lima, dimana anggotanya termasuk mantan presiden Soeharto dan almarhum Soepardjo Rustam. Kini yayasan tersebut berganti nama menjadi Yayasan Kodam.


BUKTI PERESMIAN--Marabunta Gedung Multiguna usai direkonstruksi pada tahun 1995.

Marabunta—yang artinya semut besar Afrika—sudah mengalami satu kali proses rekonstruksi, tepatnya pada tahun 1995. Bekas bangunan lama berdampingan dengan gedung hasil rekonstruksi. Interior gedung baru seolah kembali menegaskan fungsi bangunan sebagai tempat pertunjukkan. Tepat di bagian ujung tengah dari pintu masuk utama terdapat panggung. Atap bagian dalam yang berbahan kayu serta sepuluh buah pilar sengaja dipertahankan sebagai bagian asli bangunan sejak pertama berdiri. Ornamen lukisan pada masing-masing jendela mengilustrasikan aksi Putri Matahari ketika pementasan tari berlangsung. Berbeda dengan ornamen pada pintu masuk utama yang melukiskan dongeng Putih Salju. Salah satu sudut gedung dipercantik dengan adanya mini bar yang menyerupai kapal. Masih di lantai dasar, tepatnya di ruangan dalam, kita dapat menemukan beberapa pajangan berupa sketsa Putri Matahari serta bentuk asli Marabunta.


PANGGUNG--Tepat di ujung tengah setelah memasuki pintu utama terdapat panggung untuk pementasan.



ASLI--Interior atap berbahan kayu ini merupakan bagian dari bangunan sejak awal berdiri dan sengaja dipertahankan meskipun telah direkonstruksi.


LUKISAN MENARI--Ornamen jendela yang melukiskan aksi Putri Matahari saat menari di pementasan.


BERBEDA--Khusus pada pintu masuk utama ornamen melukiskan tentang dongeng Putih Salju beserta para kurcaci.


SUDUT KAPAL--Di salah satu sudut lantai dasar dipercantik dengan mini bar menyerupai kapal yang sengaja dibuat saat rekonstruksi.


PENARI--Sketsa Putri Matahari yang dapat ditemukan di ruangan dalam lantai dasar.


Beralih menyusuri eksterior bangunan, di bagian samping gedung terdapat pagar besi putih yang juga bersimbol semut raksasa. Dinding sisi bangunan dihias dengan tanaman rambat. Sedangkan sisi ujung terdapat sebuah tangga besi menuju lantai dua—yang digunakan untuk kantor.



PAGAR SEMUT--Di bagian samping gedung terdapat pagar besi bersimbol semut raksasa Afrika "Marabunta".


TANGGA--Di bagian sisi gedung terdapat tangga menuju lantai dua yang digunakan sebagai kantor.



MARABUNTA--Simbol semut raksasa di bekas bangunan lama.


JEJAK LAMA--Bekas bangunan Marabunta yang pertama kali berdiri.


BANGUNAN TUA--Puing-puing bangunan lama Marabunta  usai direkonstruksi mulai ditumbuhi tanaman rambat.


KINI--Marabunta setelah direkonstruksi dikelola dengan cara disewakan untuk beragam acara.

Alex Purnawi selaku Bagian Umum MBM menjelaskan, “Hingga kini gedung tetap dikelola dan dirawat oleh PT. Marabunta dan ditetapkan sebagai salah satu cagar budaya Kota Semarang. Untuk fungsinya sendiri, saat ini gedung disewakan untuk berbagai acara. Tetapi, mayoritasnya disewa untuk pertunjukkan musik dan pemotretan model,” ujarnya ramah. (ARF)




Senin, 17 Desember 2012

Pandanaran Art Festival 2012: Refleksi Multi-etnis Kota Semarang


Semarang sebagai ibukota provinsi Jawa Tengah kerap dijuluki sebagai salah satu kota multi kultur. Tak heran, sebab selain etnis Jawa, beberapa etnis lain—termasuk etnis Tionghoa, berbaur dalam masyarakat yang majemuk. Refleksi dari pluralitas budaya itu pun tampak dalam acara Pandanaran Art Festival 2012 yang digelar di kawasan Jalan Pemuda pada 15-16 Desember lalu.
Dalam acara tersebut, puluhan stan produk UKM (Usaha Kecil Menengah) berjajar rapi dan terbagi ke dalam empat area, antara lain Kampung Jawa, Kampung Cina, Kampung Arab, dan Kampung Belanda. Di Kampung Jawa, terdapat stan busana batik dan kuliner khas seperti nasi Langgi. Beranjak ke Kampung Cina, pengunjung dihibur dengan atraksi Liong Samsi, Barongsai, dan drama Sun Go Kong. Ada pula Wayang Potehi sebagai salah satu kesenian etnis tersebut. Di Kampung Arab, pengunjung dapat mencoba seni melukis tangan “henna” ataupun menikmati hidangan khasnya—nasi kebuli. Tak ketinggalan, Toko Oen turut menawarkan beberapa kuliner khas dari Negeri Kincir Angin bagi para pengunjung yang ada di Kampung Belanda.
RAMAI PENGUNJUNG--Suasana Pandanaran Art Festival 2012 pada Sabtu (15/12) malam di Jalan Pemuda.
Sementara itu, pembukaan Pandanaran Art Festival 2012 di panggung utama menampilkan tarian adat dari keempat etnis tersebut. Dimulai dari Tari Semarangan, Tari Tangan Seribu dari etnis Cina—simbolisasi dari sifat pengasih dan penolong Dewi Kwam Im, Tari Sufi dari etnis Arab—kental dengan atmosfer spiritual yang damai, Klompen Dance atau tari bakiak khas etnis Belanda—sarat akan humor yang akrab, lalu diakhiri dengan pementasan Tari Warak Ngendok sebagai salah satu kesenian budaya Kota Semarang.
ATRAKSI TARI TANGAN SERIBU--Tari tangan seribu merupakan tarian adat etnis Cina. Simbolisasi rasa kasih Dewi Kwam Im yang gemar menolong sesama.

TARI SUFI--Tarian khas etnis Arab ini sarat akan atmosfer spiritual yang tenang.

TARI WARAK NGENDOK--Pementasan kesenian etnis Jawa di Kota Semarang ini menjadi pamungkas penampilan tarian adat dari empat etnis tersebut. Acara dilanjutkan dengan pembukaan secara resmi Pandanaran Art Festival 2012.

DENOK KENANG--Pasangan Denok Kenang tidak hanya berbusana adat Jawa, tetapi ada pula yang mengenakan busana ala noni Belanda.


Penyelenggaraan acara tersebut bertujuan untuk mempromosikan program Visit Jateng 2013 dan Semarang SETARA dengan menampilkan keberagaman budaya serta potensi produk/jasa UKM yang ada di Kota Semarang.
Salah seorang pengunjung, Yunita Tri—mahasiswi Undip asal Kalimantan, mengaku terkesan dengan Pandanaran Art Festival 2012. Menurutnya, acara tersebut memberikan dampak positif bagi pengunjung karena dapat mengetahui sekaligus mempelajari pluralitas budaya dari beberapa etnis yang ada di Semarang. (ARF)





Senin, 10 Desember 2012

Warga Kelurahan Tembalang Menuju Masyarakat “Peduli Sampah”


Sampah kerap menjadi problematika kompleks, terutama di kawasan padat penduduk. Termasuk pula di Kelurahan Tembalang Kota Semarang. Semakin tingginya jumlah penduduk di kelurahan tersebut, terlebih usai perpindahan perkuliahan mahasiswa program S1 Universitas Diponegoro (semula dari Kampus Pleburan menuju Kampus Tembalang), berkontribusi terhadap peningkatan produksi sampah. Perlu adanya kepedulian dan perilaku pro-aktif warga untuk mengatasi permasalahan itu.
Salah satu langkah yang ditempuh adalah pencanangan program “Pengolahan Sampah Mandiri Berskala Keluarga” sejak 15 Mei 2012. Tujuannya membentuk perilaku warga setempat menuju masyarakat “peduli sampah”. Program ini juga mendukung isi Surat Keputusan Walikota Semarang No. 140/8 tanggal 11 Januari 2011 yang menetapkan Kelurahan Tembalang sebagai “Kelurahan Percontohan Ramah Lingkungan”.
Berbagai pihak berpartisipasi dalam upaya menggiatkan program pengolahan sampah mandiri. Termasuk empat perguruan tinggi yang berada di kawasan Tembalang, meliputi Undip, Unpand, Polines, dan Politekkes. Keterlibatan civitas akademika dalam program ini merupakan wujud tri dharma perguruan tinggi di bidang lingkungan.
“Masing-masing mahasiswa dari keempat perguruan tinggi tersebut berperan membantu sosialisasi kepada warga sekitar serta teman-teman sekampusnya untuk membiasakan diri memilah sampah organik dan anorganik,” jelas FX. Hartono, SKM selaku ketua Kelompok Tani Cinta Bunga Kel. Tembalang Kec. Tembalang yang turut mengkampanyekan program itu.
Pelaksanaan program pengolahan sampah mandiri ini membutuhkan sarana utama berupa komposter dan drum-drum penampungan sampah anorganik. Peralatan tersebut sebagian besar berasal dari bantuan BUMD dan BUMS.
Komposter berfungsi  untuk memproses sampah organik, misalnya dedaunan ataupun sisa makanan (sayur/buah/nasi), menjadi pupuk organik. Penyediaan komposter tersebut akan dibagi ke berbagai lokasi, mulai dari lingkup keluarga, Dasa Wisma, RT/RW, sekolah, kantor, perguruan tinggi, dan tempat lainnya.

Bapak FX. Hartono, SKM menunjukkan beberapa komposter yang ada di teras rumahnya. Komposter tersebut nantinya digunakan untuk membusukkan sampah organik agar dapat menjadi pupuk organik.



Komposter sederhana yang terbuat dari pot bunga. Berisi sampah organik yang kondisinya setengah busuk.

Sedangkan sampah anorganik akan dipilah dan dimasukkan ke dalam drum penampungan menurut jenisnya, seperti kertas, plastik, ataupun logam/kaca. Drum penampungan ini diletakkan di Dasa Wisma/ RT/ RW. Selanjutnya, petugas Dasa Wisma akan mengemas sampah anorganik yang telah dipilah, kemudian dijual ke pengepul. Uang hasil penjualan nantinya digunakan untuk keperluan Dasa Wisma/ RT/ RW.


Drum-drum penampungan sampah anorganik hasil donasi dari berbagai pihak. Drum tersebut sudah mencantumkan masing-masing jenis sampah anorganik untuk dipilah.

Demi tercapainya masyarakat “peduli sampah” sesuai dengan tujuan program tersebut, perilaku warga setempat harus selalu dibiasakan untuk memilah sampah, baik sampah organik maupun anorganik, dimulai dari lingkup keluarga serta diterapkan setiap saat dan dimana pun mereka berada. (ARF)